Selasa, 12 April 2011

INDONESIAKU INDONESIAMU


INDONESIAKU INDONESIAMU


 Indonesia: tragedi atau kenangan manis?
Sejarah nasional menunjukkan sebuah kekontinuan yang membawa Indonesia kepada situasi yang kita alami sekarang ini. Lebih dari 350 tahun dijajah oleh kolonial Belanda, 3,5 tahun oleh Jepang, dan diikuti dengan penjajahan oleh bangsa sendiri oleh pemerintahan Orde Lama Presiden Soekarno (1945-1966) dan kemudian oleh pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto (1966-1998). Dua orang ini tentu menjadi penanggung jawab utama oleh kerusakan superstruktur bangsa yang terjadi saat ini. Mereka menjadi penguasa dalam waktu yang lama sekali, yang seharusnya membawa bangsa Indonesia yang sudah sangat terbiasa dengan pola feodalisme yang diterapkan kolonial.
Tak bisa dipungkiri klaim bahwa Indonesia adalah daerah bekas jajahan kolonial
Belanda dari Sabang sampai Merauke adalah absurd. Seperti diutarakan berbagai buku sejarah nasional, Indonesia lahir oleh sebuah semangat proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan Soekarno-Hatta, sebuah semangat yang lahir dari sebuah perasaan senasib sependeritaan imperialisme dan kolonialisme. Deklarasi kemerdekaan 1945 tentu saja sangat membius dan memuncakkan perasaan bersatu penduduk bangsa di teritori Sabang hingga Merauke ini. Semua pihak akhirnya menerima saja negara kesatuan dengan bentuk negara republik ini; tentu saja faktor keahlian retoris dari Soekarno sebagai presiden RI pertama merupakan faktor yang tak bisa diabaikan dalam proses meyakinkan berbagai kalangan ini. Soekarno dan Hatta menjadi dwi-tunggal yang menjadi pahlawan
persatuan dan kesatuan. Sebelumnya keinginan untuk bersatu telah dikumandangkan oleh golongan muda se-Indonesia pada tahun 1928, dalam bentuk Sumpah Pemuda yang mengikrarkan semangat satu bangsa, tumpah darah, dan bahasa; hal ini jelas sebagai trik untuk mengintegralkan perjuangan nasional yang secara sporadis tidak menguntungkan saat itu.
Sejarah juga mencatat bahwa sebelum-sebelumnya banyak pemimpin perjuangan nasional “kebingungan” untuk menyusun kekuatan nasional yang integratif dalam merongrong pemerintahan kolonial. Budi Utomo (1908) gagal karena ternyata menjadi sedemikian ekslusif di kalangan intelektual jawa saat itu, demikian pula Indische Partij, Partai Nasional Indonesia, dan seterusnya. Mungkin satu yang agak berhasil adalah yang dilakukan oleh H.O.S. Cokroaminoto, ia mengambil ikon Islam dalam melawan penjajah yang dikafirkan dalam bentuk organisasi Sarekat Islam (SI). Islam menjadi ikon yang efektif hingga akhirnya inipun runtuh karena ketidaksiapan para pemimpinnya sewaktu pengaruh komunis masuk melalui aktivitas Partai Komunis Indonesia yang mengorganisir buruh dan petani dalam perspektif ekonomi. SI pecah menjadi SI merah dan SI putih, dan luluhlah sebuah harapan SI akan membawa integritas nasional melawan penjajahan.
Akhirnya semangat nasionalisme bisa memuncak oleh aktivitas berbagai organ pemuda dan intelektual dalam bentuk paguyuban pemuda di luar negeri maupun partai politik, dan kita mengenal banyak nama-nama besar di sini, mulai dari Soekarno, M. Hatta, Sjahrir, Syarifuddin Prawiranegara, M.H. Thamrin, Agus Salim, dan sederet nama-nama pemimpin nasional lainnya yang bercita-cita untuk kemerdekaan Indonesia.
Vacuum of power akibat kalah perangnya Jepang tahun 1945 oleh tragedi jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki menjadi momen partus-nya Indonesia ini. Perdebatan antara golongan muda dan golongan tua (baca: hanya segelintir rakyat Indonesia yang saat itu berjumlah sekitar 800.000 jiwa) akhirnya melahirkan deklarasi kemerdekaan sepanjang dua kalimat magis hasil ketikan Sayuti Melik yang memerdekakan dan melahirkan Indonesia. Semua prajurit perang nasional yang ada di seluruh pelosok tanah air, yang sedang bergerilya, mengaminkan kemerdekaan ini, dan lahirlah Indonesia tanggal 17
Agustus 1945 dan penetapan UUD 1945 sebagai UUD sementara karena memang terlalu ringkas untuk mengatur ketatanegaraan sekompleks Indonesia.
Soekarno secara aklamasi menjadi pemimpin nasional, tak ada yang menggugat hal ini. Dalam beberapa tahun kabinet negara diombang-ambingkan oleh pergantian perdana menteri dengan sistem pemerintahan parlementer yang memang dianut saat itu, namun posisi Soekarno menjadi tak terbantahkah lagi. Soekarno mengeluarkan dekrit presiden 1959 saat Konstituante tak mampu menghasilkan UUD pengganti UUDS 1950, dan ia mengembalikan konstitusi kepada UUD 1945, ia bubarkan parlemen, dan seterusnya, mengukuhkan posisinya sebagai penguasa tunggal yang tak terbantahkan. Puncaknya adalah saat ia akhirnya diputuskan sebagai presiden seumur hidup: sebuah hal yang
menginjak-injak komitmen pertama bahwa Indonesia menganut paham demokrasi dalam bentuk republik. Pada akhirnya, Indonesia kita akan menjadi sebuah kenangan manis
momentum lepasnya kita dari belenggu penjajahan, meski perjalanan sejarah pada akhirnya memaparkan sebuah tragedi yang kita lihat saat ini… masih bersimbah darah.
Babakan Soeharto: melanjutkan pembodohan Soekarno Soekarno akhirnya jatuh oleh insiden yang hingga sekarang tak jelas juntrungan kebenaran sejarahnya: Gerakan 30 September 1965 oleh PKI yang saat itu dipimpin D.N. Aidit. Apakah angkatan darat, dalam hal ini Soeharto melakukan coup d’ etat atau PKI berniat melakukannya namun digagalkan oleh kesigapan Letjend. Soeharto oleh karena pusat komando Jend. Ahmad Yani absen oleh karena penculikan PKI atau skenario lainnya, tak ada satu orang pun dari
generasi muda saat ini yang mengetahuinya. Bahkan Buku Putih Sejarah Penumpasan G 30s/PKI yang diterbitkan pemerintahan Orde Baru pun dinilai masih tendensius untuk menutupi borok-borok keberadaan dirinya dari permasalahan itu. Yang pasti, Orde Baru menjargonkan anti komunismenya karena diduga membawa aliran ateisme yang bertentangan dengan ide dasar negara Pancasila, dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Inilah musuh bersama yang dijargonkan oleh rezim Orde Baru, yang seolah semakin mengukuhkannya sebagai pembuka pintu terhadap kapitalisme yang bersifat internasional: kapitalisme global.
Soeharto mungkin sedikit lebih cerdik daripada Soekarno dalam rangka mempertahankan posisinya. Ia berusaha agar tetap “konsisten” terhadap konstitusi yang memang terlalu ringkas itu. Ia tidak menetapkan dirinya sebagai presiden seumur hidup, namun mengatur konstitusi agar tetap berkibalt kepada dirinya. Jargon-jargon dikumandangkan sehingga ada sentimen kebencian yang mungkin dapat dikatakan berlebih-lebihan – terhadap ideologi komunis dan ini menjadi tema utama awal kekuasaannya. Semuanya harus sesuai dengan konsistensi Orde Baru yang menjalankan Pancasila dan UUD'45 secara murni dan
konsekwen. Penyingkiran-penyingkiran kepada beberapa saksi hidup peristiwa G-30S/PKI yang meroketkan namanya disingkirkan, antara lain Sarwo Edhie Wibowo, A.H.Nasution, dan seterusnya sehingga posisinya benar-benar sentral dalam upaya kembalinya struktur pemerintahan kepada “khittah”-nya: Pancasila dan UUD’45. Hal ini berkenaan dengan genealogi sejarah nasional, di mana terjadi kesimpangsiuran dalam catatan sejarah nasional. Kurikulum pendidikan nasional diobrak-abrik dengan pemutaran balikan fakta sejarah maupun hal-hal normatif dalam pengertian “oposisi” dalam ketatanegaraan, “demonstrasi”, ideologi komunis yang ateistik yang menimbulkan komunis-fobia yang berlebihan di masyarakat, dan sebagainya. Bisa dibayangkan bagaimana “rupa” intelektualitas masyarakat hasil pendidikan orde baru ini (!). Lebih lanjut, jargon selain itu yang juga dikumandangkan adalah stabilitas yang menjadi prasyarat utama dalam proses pembangunan yang dijalankan oleh tiap Pembangunan Lima Tahun (PELITA) yang
dijalankannya. Di sini terjadi pemutaran fakta yang begitu menyeramkan dalam implementasi dwifungsi ABRI1. Penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, Timor-timur, dan Irian Jaya.
Pembunuhan massal di Lampung, Tanjung Priok, Santa Cruz Dilli (1991), peristiwa pendudukan kantor DPP PDI di Jakarta (1996), tragedi 13-15 Mei Jakarta, Tangerang, dan Solo (menewaskan lebih dari 1800 orang), peristiwa Semanggi (1998), dan berbagai kerusuhan sosial berbau SARA yang disinyalir merupakan rekayasa rezim Orde Baru. Demi stabilitas, maka kekerasan militer menjadi halal bahkan mutlak diperlukan.
Pembangunan yang dijalankan pun ternyata pembangunan yang meliputi pembangunan fisik dan sangat tidak merata pula.
Pembangunan fisik seolah jauh lebih penting daripada pembangunan suprastruktur masyarakat pengguna hasil pembangunan fisik ini. Lihat saja pembangunan jalan layang, telepon umum, dan berbagai infrastruktur lainnya seperti mobil mewah, sistem telekomunikasi bergerak, dan sebagainya yang hanya menjadi makanan mereka yang mapan ekonominya, sementara yang miskin akan tetap miskin dan secara horizontal di antara masyarakat terjadi berbagai potensi konflik antara mereka yang miskin terhadap yang kaya. Lebih jauh lagi, Soeharto ternyata tidak melakukan itu tanpa sesuatu keuntungan bagi dirinya (atau keluarganya). Sudah menjadi rahasia umum bahwa ternyata kompleks pemukiman rumahnya di Jalan Cendana Jakarta menjadi kompleks mewah dengan keamanan superketat. Anak-anak, keponakan, dan berbagai sanak keluarganya jauh atau dekat “kecipratan” dengan jabatan kepresidenan yang dipangkunya. Keluarga Soeharto menjadi pemilik negara ini secara de facto yang tentu saja diperkuat oleh
produk-produk hukum yang membenarkan hal itu.
Kekayaan Soeharto dan anak-anaknya diperkirakan berjumlah US$ 15 milyar (majalah Time, 17 Mei 1999). Tiga puluh dua tahun lamanya ia berkuasa, dan bukan sebuah rahasia lagi ia menjadi dalang pembodohan massal di negeri ini, namun hingga hari ini, berjalan tiga tahun semenjak turunnya ia dari jabatan kepresidenan, ia tidak dapat dijangkau oleh hukum yang ada.
Pengkajian masalah ini bisa menjadi sebuah pewacanaan yang sangat panjang, karena sistematika yang dijalankan Soeharto untuk mengukuhkan keberadaan dirinya selama menjadi presiden memang dapat dikatakan cerdas. Pertama, ia mengendalikan isi kepala hampir seluruh rakyat Indonesia dengan pembakuan-pembakuan kurikulum pendidikan nasional dengan segala pembodohan politiknya. Selama ia berkuasa orang takut untuk menyuarakan sesuatu yang menurutnya benar namun di lapangan ternyata melawan arus. Ia juga mengendalikan informasi yang ditelan oleh rakyat. Ia menguasai secara sentralistik Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang sangat menjangkau hampir seluruh kawasan Indonesia dan Radio Republik Indonesia (RRI). Bahkan selama ia berkuasa, pemberitaan televisi dan radio swasta pun harus melalui corong TVRI dan RRI. Media komunikasi lain pun demikian. Majalah yang ingin mencoba-coba melawan dapat dengan mudah dicabut SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers)-nya. Mereka-mereka yang ingin menggugat Soeharto dihajar habis-habisan.
Monumen pendudukan militer di kampus ITB (1978) mungkin salah satu contohnya, saat mahasiswa ITB menyatakan tidak percaya lagi kepada kepemimpinan Soeharto. Diciptakan berbagai paranoia masyarakat untuk angkat bicara dan melawan rezim penguasa. Ia juga tidak segan-segan menggunakan militer untuk membasmi pihak-pihak yang mengganggu keberadaannya yang dalam terminologinya adalah stabilitas nasional.
Kedua, ia juga tidak secara terang-terangan melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Secara halus melalui peraturan pemerintah yang ia keluarkan secara konstitusional, melalui yayasan milik sanak keluarganya, melalui proyek keluarganya atau orang-orang didekatnya. Ini menjadikan sebuah kesadaran bahwa adalah “biasa” untuk melakukan
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Ini jelas melahirkan kondisi multilevel totalitarian secara vertikal di tengah masyarakat: mulai dari presiden hingga tukang parkir melakukan praktik KKN ini dan ini menjadi suatu “budaya” tersendiri di tengah masyarakat. Ini pula yang menyebabkan sulitnya menjaring Soeharto, karena kalaupun ia
sekarang sudah tidak menjabat lagi, orang-orang yang menjadi penguasa sekarang adalah mereka yang dulunya juga berlindung dibalik jubah Soeharto dan juga tak luput dari eksistensi kepresidenan Soeharto. Tiga puluh dua tahun berkuasa, dan ia secara tak langsung telah menciptakan sebuah kondisi sedemikian selama beberapa generasi, dan generasi muda sekarang adalah generasi yang dibesarkan oleh generasi sebelumnya yang sedemikian korup.
Ketiga, pola-pola developmentalisme yang terjadi di kalangan masyarakat yang juga adalah hasil pendidikan yang diciptakannya, jelas telah mengarahkan pola pikir generasi tua dan muda dalam memandang sistem nasional. Sebagai negara, Indonesia telah “dipaksa” meninggalkan “jati dirinya” sebagai negara agraris menjadi negara industri maju yang dapat dikatakan “mengekor” negara-negara yang menanamkan modalnya di Indonesia. Pembentukan pola pikir yang cenderung inferior jika berhubungan dengan teknologi negara maju, sehingga seluruh aspek kehidupan nasional diarahkan ke sana tanpa memperhatikan lagi super struktur masyarakat yang terbangun sejak awal. Ini mendorong tingkat konsumerisme yang setinggi-tingginya yang memang diharapkan investor sehingga Indonesia menjadi pasar bagi produk-produknya. Ini sangat menyamankan posisinya karena pola kapitalisme global terkompromikan oleh kedudukan politisnya. Indonesia menjadi negara kapitalisme pinggiran, ia dan kroninya dapat terus korupsi, dan rakyat tersilaukan oleh pembangunan fisik yang dilakukannya. Rakyat terbisukan oleh kemajuan yang ada dan secara politis menjadi tunduk kepadanya. Lebih jauh, karena praktik KKN telah menjadi warna tersendiri dalam dunia politik, ada ketakutanketakutan di kalangan masyarakat untuk berkiprah di dunia politik, padahal
politik seharusnya merupakan cara paling efektif dalam memperjuangkan hakhaknya
sebagai warga negara. Negara yang umurnya baru beberapa dekade ini akhirnya menyerah pada kemajuan sistem teknologi, pertanian ditinggalkan, terjadi ledakan urbanisasi tiap tahun; dan ini menyimpan potensi konflik sosial yang sangat tinggi, namun teredam oleh pola militeristik yang berkembang. Kehidupan sosial politik menjadi tidak menarik, ideologi alternatif menjadi menakutkan, dan yang terjadi adalah ikon-ikon agama yang secara dogmatis dan pasti membisukan keinginan rakyat memperjuangkan hak-haknya. Lembaga swadaya masyarakat, parlemen (DPR), partai politik, dan berbagai perangkat
sosial lainnya tak bisa tidak mengaminkan penguasa sehingga perhatian rakyat tertuju ke kampus-kampus sebagai aspiratornya. Sewaktu ini terjadi, kampus diduduki militer, dilaksanakan normalisasi kehidupan kampus (NKK 1978) dan rakyat kembali bisu dalam ketertakutan.
Keempat, sistem demokrasi kita juga telah disalahkaprahkan dan ini dikampanyekan secara nasional dalam berbagai Penataran P4, acara televisi, kurikulum nasional, sehingga tidak jelas fungsi kontrol antar lembaga-lembaga pemerintahan yang ada: antara eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Ini sangat menguntungkan lembaga kepresidenan yang terpisah dari rakyat namun memiliki “hak intervensi” terhadap lembaga tinggi negara lainnya. Dengan kata lain, fleksibilitas UUD’45 telah diselewengkan dengan pengertian yang jauh dari citacita demokrasi dan republik.
Soeharto mengundurkan diri, namun tongkat estafet ini diserahkan kepada Habibie yang
menjadi wakil presidennya waktu itu. Habibie jelas merupakan orang Orde Baru dan kedekatannya dengan Soeharto sudah tak asing lagi. MPR dan DPR-pun sebagai tempat orang-orang Soeharto sangat tidak disentuh oleh lengsernya Soeharto ini, sehingga Soeharto boleh dikatakan selamat oleh “amuk massa” yang secara potensial terjadi. Sebagaimana dijabarkan di atas, selama Soeharto berkuasa telah dibentuk pola masyarakat dengan budaya yang secara multilevel totalitarian, ditambah beberapa aspek pola hidup demokrasi yang telah disalahkaprahkan dengan terminologi melaksanakan Pancasila dan UUD ’45 secara murni dan konsekwen, ketakutan akan konflik dan berbagai perdebatan dalam urusan bernegara baik di tingkat elite maupun di tingkat rakyat umumnya, akhirnya selalu mengharapkan adanya kompromi di tingkat elite yang pada akhirnya akan mereduksi masalah menjadi masalah elite politik dan memisahkan rakyat kepada permasalahan bangsa dan negara. Rakyatnya sendiri akan pasrah oleh ikonisasi yang terjadi. Pertemuan Ciganjur 1998 merupakan contoh implementatifnya dalam hal ini.
Pertemuan Ciganjur yang mempertemukan para elite politik, dalam hal ini yang dianggap tokoh masyarakat di meja perundingan, telah mendistorsi permasalahan yang ada menjadi
diskursus di tingkatan elite. Revolusi menjadi gagal terjadi – berhubung pemaknaan “revolusi” telah sangat menakutkan pada masa itu. Jargon reformasi menjadi epik yang memoderasi segala pihak: dwifungs ABRI dicabut secara bertahap, memaksa presiden Soeharto mundur, dan seterusnya, yang melanggengkan keluarnya wasiat Soeharto kepada Habibie. Ratusan ribu massa aksi rakyat dan mahasiswa di Jakarta menjadi terpisah dari permasalahan yang ada. Hasilnya adalah Pemilu 1999 yang “katanya” didukung oleh mahasiswa2 dalam badan-badan pengawas PEMILU seperti Forum Rektor, UNFREL, dan KIPP. Sistem masih amburadul, pelaksana sistem pun patut mendapat kecurigaan hingga level tertinggi, rakyatnya ikonis, dan negara di ambang kehancuran. Penyelesaian tergesa-gesa terhadap krisis multidimensi ini melahirkan kondisi yang sekarang ada.
Abdurrahman Wahid alias GusDur menjadi presiden sementara partai pemenang PEMILU, PDI Perjuangan, hampir menjadi oposisi, seandainya Megawati tidak terpilih menjadi wakil presiden. Garbage in Garbage out, kata pepatah, dan inilah yang terjadi jika sistem yang bobrok dipakai. GusDur menjadi presiden oleh kompromi di tingkat elite politik selama Sidang Umum MPR, dan kini gonjang-ganjing politik terjadi oleh pertikaian elite politik pula. Ada drama pertarungan antara lembaga kepresidenan (GusDur) dengan lembaga legislatif (Amien Rais dan Akbar Tandjung) yang jelas memiliki dampak luas sistem negara Indonesia. Di tataran rakyat kebanyakan – yang tadi
diistilahkan ikonis, terjadi konflik horizontal yang serius, antara pendukung GusDur dan yang anti terhadapnya. Di luar semua itu, sistem militer ternyata belum disentuh juga oleh reformasi, dan memiliki potensi pula untuk nantinya ambil bagian dalam gonjang-ganjing politik ini.
Ada yang bilang ini adalah kerusakan sistem ketatanegaraan. Ada pula yang mengatakan ini adalah akibat sudah sedemikian bobroknya generasi tua yang tak bertanggung jawab. Bermacam analisis dan cerita disampaikan, ada yang optimis ada yang pesimis. Berbagai teori dikemukakan, namun suasana sudah sedemikian panas. Yang pasti jika kita dahulu beranggapan bahwa musuh kita adalah Soeharto, maka saat ini kita lambat-laun sadar bahwa musuh kita adalah diri kita sendiri, yang lahir dan dibesarkan di lingkungan yang dikondisikan oleh Soeharto.
2 Mitologi yang berkembang saat itu adalah bahwa mahasiswa merupakan agent of change dan menjadi parameter sekaligus subyek perubahan sosial. Secara tak langsung, partisipasi mahasiswa dalam  PEMILU ini menjadi pelegitimasi tak langsung keabsahan PEMILU ini.
Jejak Langkah Indonesia
1. Ironisme Negara Yang Kaya Raya
Tak salahlah kalau negeri ini dipuja-puja keindahan alamnya, karena aset kekayaannya memang luar biasa: tanah yang subur, kaya mineral, minyak bumi dan batu bara, hutan tropis, iklim yang stabil, dan relief alam yang indah. Ratarata tiga hingga empat ribu turis manca negara1 datang ke tanah air mengunjungi keindahan alam dan panorama Indonesia, sekitar 1.500.000.000 dolar AS per tahun diraup oleh PT Freeport Indonesia di Irian Jaya2, sekitar 60 ton emas dikeluarkan dari dalam tanahnya per tahun3, dan seterusnya – Indonesia memang bagaikan zamrud khatulistiwa.
Ini pulalah yang merangsang bangsa-bangsa Eropah untuk menjajah Indonesia sekitar 5 abad yang lalu: berlomba-lomba mencari tanah di timur untuk mendapatkan rempah-rempah, namun yang didapati selain rempahrempah adalah kekayaan tanah air yang lain yang semakin mendalamkan cinta kepada tanah air bernama Indonesia.
Konon, kolonialisme dan imperialisme adalah sebuah tantangan bagi bangsa Eropa untuk memberadabkan negara-negara di luar Eropah yang dikenal barbar dan tak beradab: namun apakah bangsa yang mendiami bumi Indonesia tidak beradab? Di bumi ini berdiri ribuan candi yang menyimpan cerita peradaban tertentu dari cerita-cerita yang tak hanya menceritakan adanya peradaban pada masa lampau, namun telah ada berbagai intrik kehidupan baik politik, teknologi, kesenian, dan sebagainya. Jika katanya bangsa Eropah hendak memberadabkan negara-negara di Hindia Belanda, mungkin kata yang paling tepat bukan  “memberadabkan”, namun “meng-Eropah-kan” (!) – karena itulah yang memang
mereka lakukan di bumi manusia kita.
Namun siapa akan menyangka bahwa negara sekaya ini ternyata punya hutang luar negeri sebesar 149,123 milyar dollar AS4 - di mana seorang anak yang baru lahir ke muka bumi Indonesia ini telah dipaksa berhutang sekitar 7 juta rupiah5 ke luar negeri, padahal popok pun ia belum lagi pakai (!). Negara ini jatuh miskin oleh kerusakan dan krisis multidimensional yang meliputi sendi-sendi dasar kehidupan dan interaksi sosial: krisis kepercayaan, krisis moralitas, krisis moneter, dan seterusnya, oleh para penguasa yang juga ternyata adalah putra-putri bangsa ini. Anehnya, jika kita sebut negara ini miskin,
ternyata tak semuanya miskin. Sebab berdasarkan catatan dan pengamatan yang dilakukan berbagai kalangan pengamat sosial, saat rupiah benar-benar terpuruk pun (1998), besar harga penjualan handphone tak turun, demand terhadap bensin untuk kendaraan bermotor tetap stabil, supermarket dan mal-mal masih tetap ramai dipadati pengunjung. Pemerataan pembangunan ekonomi ternyata tak tercapai. Gap sosial secara ekonomi sangat besar, dan ini rentan dengan konflik-konflik horizontal yang memang jadi pemandangan lain (baca: artifisial) dari negara ini. Konflik SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan) terjadi
hampir di semua tempat – kalaupun tak terjadi potensi konfliknya sangat besar.
2. Dari Bawah Kelangkang Soekarno ke Soeharto
Namun percaya atau tidak, untuk Indonesia tidak ada logika yang menyatakan bahwa “kaya” berarti “benar-benar kaya”. Sudah disebutkan di atas bahwa Indonesia sebagai sebuah negara telah dihimpit hutang luar negeri dari sana dan dari sini. Morgan Stanley Dean Writer (MSDW) yang berkantor di London, Inggris, pada harian KOMPAS 27 Februari 2001, mengemukakan bahwa hutang luar negeri ini sudah dapat dikategorikan sebagai permanent debt trap (jebakan hutang permanen), yang hampir mustahil untuk dilunasi dalam beberapa generasi. Hutang luar negeri yang berjangka waktu lebih kecil dari setahun saja sudah mencapai 98% dari GDP Indonesia.